Selasa, 07 Oktober 2014

Proyek pertama





Parasnya sederhana, sesederhana perawakannya yang sedikit gempal dengan bulu lebat di sekujur tubuhnya, bukan kera atau kingkong ia manusia, anak manusia yang sedikit berbeda dengan segudang kelebihan yang tidak dimiiki orang lain. Cara pandang yang berbeda dengan matanya yang juling, rambut yang tumbuh tak selebat bulu-bulu dikaki dan juga tangannya. Kulit kepala yang berkilau dikala siang hari bahkan malam hari karena hanya sebagian dari kepalanya yang tertutup oleh rambut. Aneh, memang aneh tapi itulah kenyataannya. Terlahir dari empat bersaudara yang jaraknya tidak jauh, dari keluarga sederhana yang, yah....untuk penyebutan harmonis saja itu jauh dari kata itu sendiri (harmonis). Keluarga yang mempunyai jalan pikiran masing-masing, keras kepala, dan kurang komunikasi. Takdir menjadi anak terakhir yang dilahirkan dan menjadi satu-satunya anak yang harus bersikap dewasa, meskipun seharusnya belum dewasa.

“DEWASA SEBELUM WAKTUNYA”

Usia sekolah yang harusnya benar-benar dinikmati sebagai seorang pelajar dengan sama sekali tak ada beban, namun tidak dengan pelajar satu ini. Mau tidak mau, terpaksa atau dipaksa ataupun apalah.....ia tetap harus bekerja. Okelah.....egois sekali jika menyebut ini sebuah pekerjaan, lebih baiknya sebuah bukti bakti kepada ibu. Bangun lebih pagi, tanpa sarapan atau minum susu. Habis solat subuh, ia harus berbenah diri juga barang-barang sang ibu. Mengantarkannya ke setiap pasar yang menjadi langganan berjualan sang ibu. Mengantar barang dagangan, menjemput sang ibu, membantu jualan  hingga tak jarang ia harus ngelupa kalau waktu telah melewati waktu-waktu untuk pergi sekolah. Ia sadar akan semua hal itu, ia paham, ia mngerti.

“betapa egoisnya aku, jika aku harus meyalahkan tuhan yang telah memberikan kesempatan kepadaku untuk menjalani keadaan ini, yang mungkin tidak akan diberikan bahkan dirasakan oleh orang lain.”

Di masa kanak-kanak, ia harus belajar mandiri. Usia-usia pertama kali mengenal sekolahan, mengenal pelajaran, mengenal guru, mengenal teman, dan mengenal semuanya. Usia TK adalah usia dimana seharusnya seorang anak merasakan hangatnya kasih orangtua, antusiasme orang tua mengantar dan menjemput sang anak berangkat dan pulang sekolah. Sayangnya semua itu tidak pernah dirasaka oleh teguh, anak lelaki yang harus terima untuk menjadi kuat pada usianya. Kakak-kakaknya yang sibuk dengan urusan masing-masing, kakak pertama yang merantau, yang masih sekolah dan yang masih sekolah juga. Ayah yang sibuk bekerja demi keluarga tapi tetap saja kurang untuk memenuhi kebutuhn keluarga. Tak ayal bila sang ibu ikut terjun mencari nafkah. Menjadi korban orang tua yang sama-sama sibuk kerja harus dirasakan teguh sejak dini. Julukan Keluarga yang keras telah tertempel erat pada keluarga itu.

“sebuah penyebutan tak ubahnya seperti sampul buku yang belum tentu isi bukunya sesuai persis dengan sampul buku itu”

Berawal dari usia kanak-kanak, masuk sekolah dasar,sekolah mnengah pertama, hingga sekolah menengah atas. Rutinitas seorang pelajar yang terkenal giat dan bakti itu semakin lekat pada sosok anak lelaki yang bernama teguh. Kini usianya telah mencapai  penyebutan untuk disebut sebagai lelaki dewasa.

“memilih satu diantara dua pilihan belum tentu itu yang terbaik, terkadang tidak melakukan pemilihan atau memilih keduanya bisa jadi itu yang paling baik dibanding harus memilih satu diantaranya”.


Bak pemain sirkus, mereka memang bebas bertindak sesuai hati dan senyaman mereka tetapi mereka harus terikat oleh ikatan yang bernama tanggungjawab. Teguh memang bebas bertindak sesukanya, asal ia tetap bekerja untuk sang ibu. Meski sering ia merasa perampasan hak dalam hidupnya, yang bernama pemberontakan tak jua muncul di benaknya. Entahlah....jiwa mulia atau memang tak ada keberanian untuk memberontak atas kerasnya hati sang ibu.

 “Pada akhirnya kita akan tahu betapa orang tua itu sangat menyayangi kita, hanya perlakuan yang membedakan wujud kasih mereka pada anaknya”.

Lantas, masihkah kalian mengumpat pada orang tua tentang perbedaan mereka dalam memperlakukan kita yang berbeda dengan kebanyakan orangtua lainnya. Terkadang kata ‘mampu’ adalah kunci dari perbedaan itu. Teguh tak pernah mengeluh untuk melakukan itu, walau benak berkata “aku bukan budakmu” tapi ‘muka senantiasa berkata aku akan selalu ada untukmu’. Bohong, menipu diri sendiri, munak atau apalah....
Yang pasti, sang anak memang haruslah begitu, tak lekas menunjukan muka murung dan suntuk didepan orang tua kita. Tak menunjukan muka-muka musuh, tapi sebaliknya tunjukanlah muka-muka pahlawan. Pahlawan untuk diri sendiri dan terlebih pahlawan untuk orangtua serta pahlawan untuk orang-orang di sekeliling kita yang begitu tulus memberi kasih dan sayangnya tanpa pamrih.

“Menjalani apa yang  terpilih diantara pilihan yang satupun tidak kita pilih itu memang susah. Kuncinya tetap ikhlas dan legowo menjalaninya”.

Lagi-lagi keadaan jatuh cinta padamu, teguh. Sehingga waktu tak enggan-enggannya untuk memberi kesempatan kepadamu untuk merasakan apa itu pesakitan. usia dimana telah tiba waktumu untuk memikirkan masa depan, keluarga, dan karir namun perasaan terhimpit tetap saja membututimu. Usia renta ibu yang mengharuskan ia tetap tegar merasakan sakit, lumpuh bukan sekadar penyakit yang bisa disembuhkan dengan hanya beristirahat melainkan penyakit yang lumayan menyita waktu, pikiran, dan finansial. Tak peduli ada atau tidak, dan engkau pula yang menutupi semua permasalahan tersebut dengan merelakan kontrak kerja yang telah dijalani 1,5 tahun. Bukan pula perkara mudah bagimu, pasalnya kredit motor pun masih belum lunas. Bentang jarak yang tidak hanya satu meter, tidak hanya menyeberang sampai, tidak pula juga akan sampai dalam beberapa menit. Tempat yang terpisahkan oleh laut dan pulau itu tidak dekat, sayang. Benar-benar pilihan yang seharusnya tidak ada dalam pilihan.
Lelah, selalu lelah itu adalah rasa yang harganya mati. Dan kamu adalah salah satu anak yang selalu membayar itu semua dengan peluh yang mengucur. Dengan tak seorangpun boleh mengetahui akan hal itu. Teguh, seperti namamu. Semoga aku, kamu, dan kalian bisa tetap teguh walaupun berada di atas gelombang kehidupan yang senantiasa menggulung yang tak pasti kapasitasnya.
“Teguh, tetap teguh dengan keteguhannya”.


05.10.2014/22.23 WIB/ kos baru-liwed/ifs

Tidak ada komentar:

Posting Komentar