Parasnya sederhana, sesederhana perawakannya yang sedikit gempal
dengan bulu lebat di sekujur tubuhnya, bukan kera atau kingkong ia manusia,
anak manusia yang sedikit berbeda dengan segudang kelebihan yang tidak dimiiki
orang lain. Cara pandang yang berbeda dengan matanya yang juling, rambut yang
tumbuh tak selebat bulu-bulu dikaki dan juga tangannya. Kulit kepala yang
berkilau dikala siang hari bahkan malam hari karena hanya sebagian dari
kepalanya yang tertutup oleh rambut. Aneh, memang aneh tapi itulah
kenyataannya. Terlahir dari empat bersaudara yang jaraknya tidak jauh, dari
keluarga sederhana yang, yah....untuk penyebutan harmonis saja itu jauh dari
kata itu sendiri (harmonis). Keluarga yang mempunyai jalan pikiran
masing-masing, keras kepala, dan kurang komunikasi. Takdir menjadi anak
terakhir yang dilahirkan dan menjadi satu-satunya anak yang harus bersikap
dewasa, meskipun seharusnya belum dewasa.
“DEWASA SEBELUM WAKTUNYA”
Usia sekolah yang harusnya benar-benar dinikmati sebagai seorang
pelajar dengan sama sekali tak ada beban, namun tidak dengan pelajar satu ini.
Mau tidak mau, terpaksa atau dipaksa ataupun apalah.....ia tetap harus bekerja.
Okelah.....egois sekali jika menyebut ini sebuah pekerjaan, lebih baiknya
sebuah bukti bakti kepada ibu. Bangun lebih pagi, tanpa sarapan atau minum
susu. Habis solat subuh, ia harus berbenah diri juga barang-barang sang ibu.
Mengantarkannya ke setiap pasar yang menjadi langganan berjualan sang ibu.
Mengantar barang dagangan, menjemput sang ibu, membantu jualan hingga tak jarang ia harus ngelupa kalau
waktu telah melewati waktu-waktu untuk pergi sekolah. Ia sadar akan semua hal
itu, ia paham, ia mngerti.
“betapa egoisnya aku, jika aku harus meyalahkan tuhan yang telah
memberikan kesempatan kepadaku untuk menjalani keadaan ini, yang mungkin tidak
akan diberikan bahkan dirasakan oleh orang lain.”
Di masa kanak-kanak, ia harus belajar mandiri. Usia-usia pertama
kali mengenal sekolahan, mengenal pelajaran, mengenal guru, mengenal teman, dan
mengenal semuanya. Usia TK adalah usia dimana seharusnya seorang anak merasakan
hangatnya kasih orangtua, antusiasme orang tua mengantar dan menjemput sang
anak berangkat dan pulang sekolah. Sayangnya semua itu tidak pernah dirasaka
oleh teguh, anak lelaki yang harus terima untuk menjadi kuat pada usianya.
Kakak-kakaknya yang sibuk dengan urusan masing-masing, kakak pertama yang
merantau, yang masih sekolah dan yang masih sekolah juga. Ayah yang sibuk
bekerja demi keluarga tapi tetap saja kurang untuk memenuhi kebutuhn keluarga.
Tak ayal bila sang ibu ikut terjun mencari nafkah. Menjadi korban orang tua
yang sama-sama sibuk kerja harus dirasakan teguh sejak dini. Julukan Keluarga
yang keras telah tertempel erat pada keluarga itu.
“sebuah penyebutan tak ubahnya seperti sampul buku yang belum
tentu isi bukunya sesuai persis dengan sampul buku itu”
Berawal dari usia kanak-kanak, masuk sekolah dasar,sekolah
mnengah pertama, hingga sekolah menengah atas. Rutinitas seorang pelajar yang
terkenal giat dan bakti itu semakin lekat pada sosok anak lelaki yang bernama
teguh. Kini usianya telah mencapai
penyebutan untuk disebut sebagai lelaki dewasa.
“memilih satu diantara dua pilihan belum tentu itu yang terbaik,
terkadang tidak melakukan pemilihan atau memilih keduanya bisa jadi itu yang
paling baik dibanding harus memilih satu diantaranya”.
Bak pemain sirkus, mereka memang bebas bertindak sesuai hati dan
senyaman mereka tetapi mereka harus terikat oleh ikatan yang bernama
tanggungjawab. Teguh memang bebas bertindak sesukanya, asal ia tetap bekerja
untuk sang ibu. Meski sering ia merasa perampasan hak dalam hidupnya, yang
bernama pemberontakan tak jua muncul di benaknya. Entahlah....jiwa mulia atau
memang tak ada keberanian untuk memberontak atas kerasnya hati sang ibu.
“Pada akhirnya kita akan
tahu betapa orang tua itu sangat menyayangi kita, hanya perlakuan yang membedakan
wujud kasih mereka pada anaknya”.
Lantas,
masihkah kalian mengumpat pada orang tua tentang perbedaan mereka dalam
memperlakukan kita yang berbeda dengan kebanyakan orangtua lainnya. Terkadang
kata ‘mampu’ adalah kunci dari perbedaan itu. Teguh tak pernah mengeluh untuk
melakukan itu, walau benak berkata “aku bukan budakmu” tapi ‘muka senantiasa
berkata aku akan selalu ada untukmu’. Bohong, menipu diri sendiri, munak atau
apalah....
Yang
pasti, sang anak memang haruslah begitu, tak lekas menunjukan muka murung dan
suntuk didepan orang tua kita. Tak menunjukan muka-muka musuh, tapi sebaliknya
tunjukanlah muka-muka pahlawan. Pahlawan untuk diri sendiri dan terlebih
pahlawan untuk orangtua serta pahlawan untuk orang-orang di sekeliling kita
yang begitu tulus memberi kasih dan sayangnya tanpa pamrih.
“Menjalani apa yang terpilih diantara pilihan yang satupun tidak
kita pilih itu memang susah. Kuncinya tetap ikhlas dan legowo menjalaninya”.
Lagi-lagi keadaan jatuh cinta padamu, teguh. Sehingga waktu tak
enggan-enggannya untuk memberi kesempatan kepadamu untuk merasakan apa itu
pesakitan. usia dimana telah tiba waktumu untuk memikirkan masa depan,
keluarga, dan karir namun perasaan terhimpit tetap saja membututimu. Usia renta
ibu yang mengharuskan ia tetap tegar merasakan sakit, lumpuh bukan sekadar
penyakit yang bisa disembuhkan dengan hanya beristirahat melainkan penyakit
yang lumayan menyita waktu, pikiran, dan finansial. Tak peduli ada atau tidak,
dan engkau pula yang menutupi semua permasalahan tersebut dengan merelakan
kontrak kerja yang telah dijalani 1,5 tahun. Bukan pula perkara mudah bagimu,
pasalnya kredit motor pun masih belum lunas. Bentang jarak yang tidak hanya
satu meter, tidak hanya menyeberang sampai, tidak pula juga akan sampai dalam
beberapa menit. Tempat yang terpisahkan oleh laut dan pulau itu tidak dekat,
sayang. Benar-benar pilihan yang seharusnya tidak ada dalam pilihan.
Lelah, selalu lelah itu adalah rasa yang harganya mati. Dan kamu
adalah salah satu anak yang selalu membayar itu semua dengan peluh yang
mengucur. Dengan tak seorangpun boleh mengetahui akan hal itu. Teguh, seperti
namamu. Semoga aku, kamu, dan kalian bisa tetap teguh walaupun berada di atas
gelombang kehidupan yang senantiasa menggulung yang tak pasti kapasitasnya.
“Teguh, tetap teguh dengan keteguhannya”.
05.10.2014/22.23
WIB/ kos baru-liwed/ifs
Tidak ada komentar:
Posting Komentar